Pada tahun 1990, Kevin McCallister yang berusia delapan tahun—yang ayahnya adalah seorang pengusaha sukses yang sering bepergian untuk pekerjaan—masuk ke sebuah supermarket pinggiran kota dengan satu misi: membeli bahan makanan dengan biaya di bawah $20. Kedengarannya hampir fiksi menurut standar saat ini. Total pembayaran saat dia checkout tahun itu hanya sebesar $19.83 setelah menggunakan satu kupon diskon satu dolar. Total sederhana itu telah menjadi tonggak budaya tentang seberapa besar inflasi makanan telah mengubah keuangan rumah tangga selama 35 tahun terakhir.
Dari $20 ke $67: Pemeriksaan Realitas Inflasi
Bergeser ke tahun 2025, koleksi barang yang sama akan menguras dompet Anda sekitar $66.67—peningkatan mencengangkan sebesar 237% dalam angka absolut, atau hampir tiga kali lipat dari harga pembelian awal. Ini bukan sekadar tentang nostalgia atau memori selektif. Ini mewakili keruntuhan nyata dalam daya beli yang mempengaruhi keluarga nyata yang menjalani belanja bahan makanan hari ini.
Pelaku di balik ledakan harga ini bermacam-macam: bertahun-tahun inflasi yang terus bertambah, gangguan rantai pasok yang tidak pernah sepenuhnya terselesaikan, struktur tarif baru, kenaikan biaya tenaga kerja, dan strategi penetapan harga perusahaan yang membuat konsumen merasa semakin tertekan.
Mengurai Angka: Barang per Barang
Daftar belanja Kevin yang asli cukup seimbang untuk seorang anak yang harus mengurus dirinya sendiri:
Keranjang Belanja 1990 Asli:
Setengah galon susu ($1.34)
Setengah galon jus jeruk ($2.00)
Roti Wonder Bread ($0.70)
Mac dan keju beku ($1.00)
Makan malam TV ($1.50)
Deterjen cair Tide ($4.99)
Plastik wrap ($1.50)
Lembaran pengering Snuggle ($2.00)
Tisu toilet ($2.00)
Tas tentara mainan ($2.00)
Barang yang Sama di 2025:
Susu itu sekarang harganya $4.85. Jus jeruk naik menjadi $4.50. Sebuah roti harganya $3.49. Mac dan keju beku, yang dulu merupakan $1 barang murah, sekarang berada di $3.69. Deterjen Tide—barang termahal saat itu di $4.99—sekarang memerlukan $13.49 dari anggaran Anda. Bahkan barang rumah tangga “murah” seperti tisu toilet dan lembaran pengering telah tiga kali lipat atau bahkan empat kali lipat harganya.
Mengapa Semuanya Jadi Lebih Mahal
Kenaikan harga ini bukanlah hal yang acak. Sejak tahun 2020 saja, harga bahan makanan melonjak lebih dari 20%. Perubahan kebijakan perdagangan membuat barang impor menjadi lebih mahal. Masalah rantai pasok domestik terus meningkatkan biaya. Pengecer menggunakan taktik shrinkflation—menaikkan harga untuk produk yang lebih sedikit—sementara konsumen yang membayar tagihannya.
Keluarga dengan anggaran ketat merasakan tekanan ini secara langsung. Apa yang dulu merupakan perjalanan belanja cepat dan terjangkau kini menjadi bagian penting dari pengeluaran makanan mingguan, terutama bagi rumah tangga yang sudah berjuang menyeimbangkan pembelian kebutuhan pokok.
Matematika Nostalgia yang Tak Bisa Kita Hindari
$20 Hasil belanja Kevin berfungsi sebagai kapsul waktu tak sengaja. Ini mengingatkan kita bahwa inflasi bukanlah konsep ekonomi abstrak—itu adalah perbedaan antara perjalanan belanja bahan makanan yang dapat dikelola dan stres keuangan. Konsumen saat ini menghadapi kenyataan di mana bahkan barang pokok dasar pun memerlukan penganggaran yang cermat dan pencarian kupon yang strategis.
Pelajarannya bukanlah bahwa inflasi tak terhindarkan. Melainkan bahwa efek kumulatif dari keputusan kebijakan, gangguan pasokan, dan perilaku perusahaan secara fundamental telah mengubah apa yang mampu dibeli orang biasa. Tagihan yang Kevin serahkan dengan percaya diri puluhan tahun lalu? Itu hampir tidak cukup untuk menutupi sebagian daftar belanjanya hari ini.
Lihat Asli
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
Kejutan Harga: Berapa Biaya Adegan Belanja Ikonik 'Home Alone' Hari Ini
Pada tahun 1990, Kevin McCallister yang berusia delapan tahun—yang ayahnya adalah seorang pengusaha sukses yang sering bepergian untuk pekerjaan—masuk ke sebuah supermarket pinggiran kota dengan satu misi: membeli bahan makanan dengan biaya di bawah $20. Kedengarannya hampir fiksi menurut standar saat ini. Total pembayaran saat dia checkout tahun itu hanya sebesar $19.83 setelah menggunakan satu kupon diskon satu dolar. Total sederhana itu telah menjadi tonggak budaya tentang seberapa besar inflasi makanan telah mengubah keuangan rumah tangga selama 35 tahun terakhir.
Dari $20 ke $67: Pemeriksaan Realitas Inflasi
Bergeser ke tahun 2025, koleksi barang yang sama akan menguras dompet Anda sekitar $66.67—peningkatan mencengangkan sebesar 237% dalam angka absolut, atau hampir tiga kali lipat dari harga pembelian awal. Ini bukan sekadar tentang nostalgia atau memori selektif. Ini mewakili keruntuhan nyata dalam daya beli yang mempengaruhi keluarga nyata yang menjalani belanja bahan makanan hari ini.
Pelaku di balik ledakan harga ini bermacam-macam: bertahun-tahun inflasi yang terus bertambah, gangguan rantai pasok yang tidak pernah sepenuhnya terselesaikan, struktur tarif baru, kenaikan biaya tenaga kerja, dan strategi penetapan harga perusahaan yang membuat konsumen merasa semakin tertekan.
Mengurai Angka: Barang per Barang
Daftar belanja Kevin yang asli cukup seimbang untuk seorang anak yang harus mengurus dirinya sendiri:
Keranjang Belanja 1990 Asli:
Barang yang Sama di 2025: Susu itu sekarang harganya $4.85. Jus jeruk naik menjadi $4.50. Sebuah roti harganya $3.49. Mac dan keju beku, yang dulu merupakan $1 barang murah, sekarang berada di $3.69. Deterjen Tide—barang termahal saat itu di $4.99—sekarang memerlukan $13.49 dari anggaran Anda. Bahkan barang rumah tangga “murah” seperti tisu toilet dan lembaran pengering telah tiga kali lipat atau bahkan empat kali lipat harganya.
Mengapa Semuanya Jadi Lebih Mahal
Kenaikan harga ini bukanlah hal yang acak. Sejak tahun 2020 saja, harga bahan makanan melonjak lebih dari 20%. Perubahan kebijakan perdagangan membuat barang impor menjadi lebih mahal. Masalah rantai pasok domestik terus meningkatkan biaya. Pengecer menggunakan taktik shrinkflation—menaikkan harga untuk produk yang lebih sedikit—sementara konsumen yang membayar tagihannya.
Keluarga dengan anggaran ketat merasakan tekanan ini secara langsung. Apa yang dulu merupakan perjalanan belanja cepat dan terjangkau kini menjadi bagian penting dari pengeluaran makanan mingguan, terutama bagi rumah tangga yang sudah berjuang menyeimbangkan pembelian kebutuhan pokok.
Matematika Nostalgia yang Tak Bisa Kita Hindari
$20 Hasil belanja Kevin berfungsi sebagai kapsul waktu tak sengaja. Ini mengingatkan kita bahwa inflasi bukanlah konsep ekonomi abstrak—itu adalah perbedaan antara perjalanan belanja bahan makanan yang dapat dikelola dan stres keuangan. Konsumen saat ini menghadapi kenyataan di mana bahkan barang pokok dasar pun memerlukan penganggaran yang cermat dan pencarian kupon yang strategis.
Pelajarannya bukanlah bahwa inflasi tak terhindarkan. Melainkan bahwa efek kumulatif dari keputusan kebijakan, gangguan pasokan, dan perilaku perusahaan secara fundamental telah mengubah apa yang mampu dibeli orang biasa. Tagihan yang Kevin serahkan dengan percaya diri puluhan tahun lalu? Itu hampir tidak cukup untuk menutupi sebagian daftar belanjanya hari ini.