Melihat permainan ekosistem stablecoin selama dua tahun terakhir, selalu ada perasaan yang familiar. Dari MBS ke CDO, siklus sejarah sedang dipentaskan di bidang kripto—aset dasar itu sendiri memiliki risiko kepatuhan, lalu menggunakan stablecoin sebagai lapisan pembungkus untuk membangun derivatif keuangan, ditambah janji hasil dan ruang spekulasi, batasnya menjadi benar-benar kabur.

Sederhananya, daripada melakukan permainan berlapis seperti itu, lebih baik langsung bermain di pasar mata uang virtual agar lebih transparan. Di sana setidaknya logikanya jelas: leverage puluhan kali, jaminan berputar, risiko tinggi hasil tinggi, dan likuidasi cepat. Lebih baik daripada bermain arbitrase stablecoin yang tertutup ketidakpastian regulasi.

Lalu, di mana sebenarnya masalah stablecoin?

**Labirin Kepatuhan**
Rancangan undang-undang stablecoin di berbagai negara masih dalam tahap awal eksplorasi, standar yang berbeda-beda dan sangat beragam. Amerika Serikat mengakui dolar AS dan obligasi AS, Uni Eropa mengharuskan euro dan dolar disertai cadangan dana terpisah, Inggris mewajibkan 40% disimpan di bank sentral, dan Hong Kong mengharuskan cadangan resmi—tidak ada satu pun yang benar-benar memenuhi syarat. Lebih ironis lagi, banyak penerbit stablecoin justru menambah alokasi aset berisiko tahun ini demi mengejar hasil tinggi, dengan peningkatan proporsi Bitcoin. Ini mengubah infrastruktur yang seharusnya berisiko rendah menjadi alat judi.

**Paradoks Hasil**
Dari segi desain awal, stablecoin seharusnya tidak memiliki mekanisme pembayaran bunga, karena memang dirancang untuk mendukung perdagangan lintas negara dan investasi RWA di masa depan. Tapi kenyataannya? Penerbit menggunakan aset dengan biaya mendekati nol untuk arbitrase dan meraup keuntungan, sementara pemegang tidak mendapatkan apa-apa. Sistem ini sendiri adalah skema satu arah untuk memotong keuntungan. Larangan dari regulator terhadap pembayaran bunga juga membenarkan hal ini—karena mereka sudah mengetahui jebakan logika ini.